Bagaimana Perusahaan Merekrut Pelamar
Tulisan di bawah bisa menjadi bahan pertimbangan jika anda ingin melamar sebagai seorang wartawan. Bagaimana perusahaan media bisa menerima anda sebagai calon seorang wartawan ?
Bagaimana Cara Merekrut Wartawan?
oleh : andreasharsonoSelama tiga atau empat tahun ini, saya sering bicara dengan redaktur
media, yang mengeluh karena wartawan mereka banyak yang tak bisa
menulis.
Jakob Oetama, orang nomor satu Kelompok Kompas Gramedia, bilang
bahwa wartawan Kompas banyak yang belum bisa menulis. Goenawan
Mohamad dari Grafiti Pers, yang menguasai kelompok Tempo dan Jawa
Pos, mengatakan ia tak pernah punya "lebih dari 10 orang penulis" di
majalah Tempo.
Bagaimana sih mencari dan merekrut wartawan baru yang kelak terbukti
bisa bikin reportase dan penulisan bagus?
Saya kebetulan bertemu Wendel "Sonny" Rawls Jr., mantan wartawan dan
redaktur The Philadelphia Inquirer, The New York Times serta The
Atlanta Journal, tentang bagaimana cara mencari reporter. Sonny
terkenal bertangan dingin dalam mencari dan mendidik wartawan muda.
Kami bertemu di Hotel Renaissanche Chancery Court di London,
mengobrol panjang-lebar, lalu saya minta izin mengutip omongannya
Rabu lalu.
Sonny misalnya, merekrut James Newton sebagai reporter The Atlanta
Constitution. Sekarang Newton redaktur The Los Angeles Times. James
Newton diperkirakan bakal jadi "James Reston" --kolumnis legendaris
di Washington DC pada zaman Perang Dunia II.
Sonny juga menulis buku Cold Storage (1980) tentang orang gila dan
rumah sakit jiwa. Ia mengerti psikologi. Ia juga mengerti banyak
soal kriminalitas. Sonny menulis naskah film seri Law & Order.
Sonny juga partner wartawan legendaris Bill Kovach di The New York
Times dan The Atlanta Constitution. Sonny adalah orang yang membantu
Kovach mengurus keperluan rumah tangga dan operasi suratkabar.
Bagaimana cara merekrut wartawan?
Menurut Sonny, ia biasa minta wartawan yang melamar ke tempatnya
untuk mengirim 10 contoh laporan. Ia minta news stories, bukan
feature, baik dengan struktur piramida terbalik atau piramida (Sonny
paling suka dengan struktur piramida).
"Saya baca lead dulu dan tiga alinea pertama. Apakah beres atau
tidak? Kalau beres, mudah dicerna, jelas, jernih, saya akan baca the
end of the stories."
Ini penting untuk mengetahui apakah si pelamar bisa menghubungkan
lead dengan ending laporannya. Sonny bisa menilai kemampuan logika
si pelamar dari hubungan awal-akhir ini.
"I want to know whether they have really have strong understanding,"
katanya.
Bila tidak sambung, bila tak jernih, ia memutuskan menolak si
pelamar. Bila sambung, maka Sonny akan membaca semua naskah, dari
alinea awal hingga akhir, semua 10 laporan itu. Bila laporannya baik
atau menjanjikan, maka Sonny akan mewawancarai si pelamar.
Sonny menyebut nama-nama wartawan yang pernah diwawancarainya,
bagaimana mereka membangun karir, mula-mula di tempat Sonny namun
pindah ke media lain. Ia juga tahu bagaimana orang macam James
Newton tak menarik buat redaktur lain --bahkan mulanya ditolak The
Los Angeles Times-- tapi tidak bagi Sonny.
"James is not a selling person. Dia tidak bisa menawarkan dirinya
dengan baik," kata Sonny.
Charles Lewis, mantan wartawan CBS dan pendiri Center for Public
Integrity di Washington DC, mengatakan, "Sonny Rawls is a legend."
Sonny mampu memotivasi reporter. Sonny sendiri pernah mendapat
Pulitzer Prize pada 1977. Ketika memegang ruang redaksi Atlanta, ia
juga menugaskan wartawan-wartawan meliput macam-macam isu dimana
empat di antaranya dapat Pulitzer.
Bila sudah baca, ia akan mewawancarai si pelamar. Mulai dari karir
mereka serta kehidupan mereka.
"What kind of books they read?"
"What they do when they're not working?"
Saya tanya kenapa kegemaran orang pun ditanyanya.
Apa makna seorang wartawan yang suka memancing misalnya?
Menurut Sonny, pemancing artinya orang yang "kontemplatif." Ia orang
yang suka berpikir dengan dalam.
Tapi Sonny tak suka dengan wartawan yang merokok dengan pipa. "Too
slow thinking," katanya, menirukan gaya orang mengisap pipa.
Contohnya?
Sonny menunjuk Max Frankel, mantan redaktur eksekutif The New York
Times, yang mengepalai biro Washington harian The New York Times
pada awal 1970-an. Frankel memang perokok pipa.
Frankel terkenal gara-gara ia kalah dalam liputan skandal Watergate
dari harian The Washington Post dengan duet Bob Woodward dan Carl
Bernstein. Presiden Richard Nixon akhirnya mundur gara-gara
Watergate.
"Ben Bradlee tidak merokok pipa," kata Sonny, merujuk pada redaktur
eksekutif The Washington Post. Bradlee memimpin Woodward dan
Bernstein untuk mendalami Watergate.
"Frankel bekerja pelan sekali. Kami dihajar habis-habisan oleh
Bradlee," kata Sonny.
Saya ingat bahwa di Jakarta maupun kota-kota lain, kebanyakan media
besar melakukan seleksi wartawan lewat tes psikologi dan melibatkan
orang-orang personalia (lebih dulu) sebelum segelintir yang lolos
diwawancarai para redaktur. Menariknya, proses lamaran sering kali
tanpa melibatkan tulisan si pelamar. Lebih sering malah tes
psikologi.
Sonny tak peduli dengan tes psikologi. Ia bilang media bermutu macam
The New York Times atau The New Yorker belum pernah pakai tes
psikologi. Wartawan harus dites lewat tulisannya. Beberapa media
lain, misalnya The Philadephia Inquirer, memakai tes psikologi.
Sonny tak keberatan dengan tes ini namun ia juga tak peduli.
Menurut Sonny, mencari wartawan adalah seni. Ia harus dilakukan
sendiri oleh redaktur-redaktur puncak media bersangkutan. Mereka
harus tajam mencari wartawan muda yang berbakat. Tulisan adalah
utama.
Ketika bekerja dengan Kovach, entah Kovach atau Sonny sendiri yang
melakukan rekrutmen. Kalau ada lowongan, mereka tak memasang
pengumuman, tapi melakukan talent scouting di media kecil.
Saya senang bicara dengan Sonny. Saya kira cara-cara ini bisa
dipakai sebagai bahan perbandingan di Jakarta. Di kalangan media
Jakarta, jarang sekali ada lowongan pekerjaan yang minta si pelamar
mengirim contoh tulisan. Kebanyakan yang diminta Indek Prestasi 2.75
bahkan 3 (padahal semua universitas kita jelek) atau bisa bahasa
Inggris (saya setuju).
Nurman Jalinus dari Bisnis Indonesia pernah bilang bahwa sekali kita
salah rekrut, maka seumur hidup kita harus membayari gaji seseorang
yang tak bisa menulis dan tak banyak berguna untuk ruang redaksi
kita.
Bagaimana bisa mendapat wartawan yang bisa menulis ketika
rekrutmennya tanpa tulisan?
Saya kira mungkin sudah saatnya cara rekrutmen diganti.
Andreas Harsono
0 komentar:
Posting Komentar